Sore itu saat Bima meminta Lia untuk menemuinya di pinggir sebuah danau kecil dengan pepohonan yang mengitarinya. Lia ingat tempat itu adalah tempat pertama kali ia bertemu dengan Bima.
“Udah lama nunggu Bim?” Tanya Lia lalu bercipika cipiki.
“Gak kok, duduk sini” Balas Bima sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke rumput untuk duduk Lia di sampingnya.
“Makasih sayang , ada apa kok kita ketemuan di sini? Aku mau di kasih surprise ya?” suara Lia terdengar ceria.
Bima hanya tersenyum padanya lalu meraih kepala Lia dan mendekapnya perlahan penuh kasih.
“Ada apa sih bim? Kok tiba-tiba kamu sok romantis gini?”
“Aku gak bisa nerusin hubungan kita”
“Hahah kamu bercanda kan?”
“Aku serius. Aku harus pergi ke Amerika untuk studyku. Dan kamu tau aku gak suka hubungan jarak jauh. Jadi lebih baik kita putus saja”
Lia melepaskan pelukan Bima. “Aku cinta kamu Bim dan aku kenal banget kamu. Ada yang kamu sembunyiin dari aku kan? Jujur Bim!! Dulu kamu rela batalin audisi band kamu ke Jakarta demi aku. Tepi sekarang dengan mudahnya kamu bilang gitu. Ada cewe lain?”
“Ini demi masa depan aku!”
Kata-kata terakhir Bima bagai sebuah parang yang menancap di hatinya hingga saat ini. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dan malam ini menjadi malam yang panjang bagi Lia.
3 bulan kemudian...
“Kamu serius cha?”
“Ya Ampun Lia. Kapan sih aku bohong sama kamu? Kemaren yang aku liat itu bener-bener Bima. Dia sama mamanya masuk ke taxi. Tapi...”
“Tapi apa?” Lia memotong kata-kata Icha.
“Tapi Bima kok botak ya?”
“Mungkin bukan Bima.” Kata Lia ragu.
“Au ah.” Icha putus asa meladeni Lia.
Malam itu Lia benar-bener berfikir apa yang dikatakan sahabatnya tadi siang benar atau tidak. Hatinya mulai risau. Mata bulatnya tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak Pink di pojok kamar. Perlahan ia membuka dan mengeluarka satu-persatu isinya.
Beberapa hadiah mungil dan lembar-lembar foto dirinya dengan Bima saat merayakan ultahnya ke 19, tahun lalu. Saat liburan ke Bali. Lia menutup mata perlahan sambil memeluk foto-foto itu. Dadanya mulai sesak sejalan dengan memori di kepalanya yang memutar masa-masa dengan Bima. Rindu itu ia tumpahkan begitu saja. Air matanya telah membuat sugai kecil di pipinya. Membasahi dan semakin basah, semakin Lia rindu Bima.
*****
“Lia mohon tante, Lia ingin sekali ketemu Bima. Kalu memang benar Bima masih di Amerika. Lia Cuma pengen tau kabarnya. Lia masih sayang Bima tante” Lia memelas pada tente Linda, ibu Bima.
“Lebih baik kamu cari pengganti Bima nak, jangan ganggu Bima lagi.”
“Kenapa tante tiba-tiba begini? Dulu tante dukung hubungan kita. Kenapa tante jahat sama Lia. Kenapa tan? Apa Bima di jodohin sama wanita lain?” suara Lia meninggi. Kembang kempis dadanya menahan emosi.
“Jahat kamu bilang? Baiklah tante akan kasih tau tapi kamu janji dulu sama tante!”
“Apa?”
“Setelah kamu tau tentang Bima. Carilah pengganti Bima secepatnya!!”
Mata Lia melotot karena kaget. Ada yang aneh dengan tante Linda yang dulu baik padanya. bibir Lia tak mampu lagi bicara. Tiba-tiba tante Linda menarik lengannya dan masuk ke mobil.
15 menit dalam perjalanan Lia hanya terdiam. Mencoba mengatur nafas. Lia tak tau tante Linda akan membawanya kemana, dan ia tak ingin bertanya. Jika dengan diam ia akan cepat bertemu dengan Bima. Maka ia akan melakukannya.
Tanah yang masih basah karna hujan semalan menempel di alas kaki Lia mempersulit langkahnya yang masih mengikuti Tante Linda yang berjalan didepannya. Gundukan tanah berjajar rapih dengan hiasan bunga-bunga dan batu nisan. Bau bunga kamboja yang menusuk hidung menambah debar jantung Lia yang tidak karuan.
Tante Linda berhenti di salah satu gundukan tanah itu dengan nisan yang bertuliskan “Bima alfajar bin Jhoni. Lahir 02-05-1990. Wafat 20-12-2012” Lia terdiam, kakinya lemas dan tubuhnya bergetar hebat. Ia terduduk di pinggir nisan. Mengelus-elus nisan tersebut.
Air mata tek bosannya menghiasi pipinya lagi. Mengalir butiran bening itu dengan deras. Isakan tangis Lia semakin keras setelah ia tahu kalau Bima meningglakannya karena terlalu cinta padanya. Ia remas-remas bunga yang masih segar menghiasi makam Bima. Dadanya seakan tak mampu bernafas lagi. Matanya panas dan sembab. Otaknya tak mampu berfikir lagi selain nama Bima
“Bi...Bima!!! kenapa kamu bohong padaku?” Sekuat mungkin Lia mencoba berkata.
Tangan keibuan tante Linda membelai punggun Lia. Mencoba memberi ketegaran yang sejujurnya ia juga membutuhkannya.
“Bima mencoba melawan kanker otaknya. Namun Bima menyerah pada kemoterapi ke limanya. Sebelum Bima pergi, Bima berkata kalau ia tak ingin menyusahkan orang tuanya lagi” tante Linda mencoba menahan air mata. “dan ia titip sesuatu ke tante” lanjutnya.
Malam yang panjang itu datang lagi. Lia genggam cemas sebuah handicam mungil pemberian tante Linda. Ia duduk di atas ranjangnya . menarik nafas sejenak dan perlahan menekan play pada satu-satunya video di dalamnya.
Terpempeng muka yang sangat ia kenal. Bima dengan kepalanya yang botak dan muka pucat pasih. Berbicara mencoba memasang mimik wajah seceria dulu yang justru membuat Lia menitihkaan air mata.
“Lia sayang, maaf ya aku harus pergi lama. Kalau aku bisa melawan penyakit ini dan sembuh. Aku akan datang lagi dan melamarmu, tapi sayang sekali harapan itu tipis. Tapi tenang saja. cinta ini milik kamu selamanya. jaga dirimu baik-baik. Dan carilah secepatnya penggantiku jika aku gak kembali lagi. Tidak ada yang harus kamu tangisi kerna ada atau tanpa aku cinta ini akan terus hidup karena senyummu. Bernafaslah karena kamu masih punya cinta. Ya sudah aku malu karena aku gak secakep dulu hehe. Aku pamit. Terimakasih sudah jadi cinta terakhirku.” Di tutup dengan senyum tulus dari bibir kering Bima.
Lima jam setelah Bima minta direkam oleh mamanya, ia meminta untuk tidur istirahat. Dan tak di sangka Bima tidur untuk selamanya, namun cintanya selalu terjaga di hati Lia.
Tamat
0 komentar:
Posting Komentar