“Rama, tadi ayah datang ke kosku sama seorang cowok. Dia ngenalin aku sama cowok itu.” ucap Shinta dalam telfonnya.
Deg. Hatiku bergetar mendengar ucapan itu. Perlahan perasaan kecewa mulai menyusup dalam benakku. Aku belum begitu ikhlas melepasnya. Biarpun sebulan yang lalu kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita yang juga disaksikan oleh ayahnya.
“Kalau kamu suka jalanin aja! Tapi aku minta mulai sekarang jangan pernah lagi hubungin aku!” sengitku meluapkan emosi. Aku langsung memutuskan sambungan teldon dan segera menonaktifkan ponselku.
Aku kecewa! Karena aku tahu, meskipun aku da Shinta sudah ngga ada hubungan apa-apa lagi tapi hati kita masih saling memiliki.
***
Aku adalah seorang mahasiswa disebuah universitas negeri di Jogjakarta. Aku hanyalah anak yang terbiasa hidup dengan keterbatasan fasilitas. Dari kecil ibuku sudah meninggal karena penyakit kanker yag menggerogoti tubuhnya, dan ayahku usianya udah ngga muda lagi. Beliau udah ngga kuat bekerja.
Untung saja aku mempunyai tiga orang kakak yang baik hati. Meskipun ketiganya sudah berkeluarga, tapi mereka masih peduli padaku dan juga ayah. Bahkan kakak pertamaku lah yang membiayai kuliahku meskipun ngga sepenuhnya, karena aku mendapat beasiswa.
Biarpun begitu tak membuatku jadi anak yang kuper di kampus. Aku berteman seperti teman-temanku yang lain. Sampai akhirnya pas memasuki semester ke-3 aku bertemu dengan Shinta dan mulai menjalin hubungan dengannya.
Awalnya sih aku ilfil banget sama tuh cewek. Karena menurutku cewek itu ngga niat banget kuliah. Masak ngampus bawa alat make up satu tas. Gila banget kan? Aku masih teringat saat itu Pak Nardo, salah satu dosen yang mengajar dikelasku sedang menyampaikan materi, eh si Shinta malah asyik berkutat dengan alat-alat make up nya.
“Disini niat kalian buat ngampus apa mau fashion show?” ujar beliau disela-sela penjelasan materinya.
Sontak Shinta langsung merasa kalau dirinyalah yang dimaksud. Kalian tahu bagaimana reaksinya? Dengan tampang sok innocent dan tak berdosa ia menjawab, “Yaelah Pak…gitu aja ribet banget sih? Kayak ngga tahu cewek aja! Yang penting kan masih dengerin penjelasan Bapak!”
Pak Nardo membungkam, deosen yang umurnya sekitar lima tahun lebih tua dari kita-kita itu langsung tak berkutik mendengar jawaban Shinta. Beliau hanya mampu begeleng-geleng kepala mendengar jawaban dari salah satu mahasiswanya itu.
Tapi Shinta anak yag baik kok. Dia ngga pilih-pilih teman, meskipun sebenarnya dia udah csan sama tiga sahabatnya. Tiap ada anak kampus yang dandanannya jadul banget, pasti dideketin dan diajarin caranya dandan masa kini.
Hasilnya cukup memuaskan lho? Ya memang ngga diragukan lagi lah, dia kan anak orang kaya. Harga bedaknya aja mungkin bisa dipakai buat uang makanku sebulan. Kuliah aja pake mobil, nah kalau aku? Ada uang buat bayar angkot aja udah bersyukur banget. Oh iya…kos-kosannya? Kosnya itu udah mirip kayak hotel bintang 7 menn! Hampir setara lah sama apartemen-apartemen mewah gitu! Sedangkan kosanku lebih pantas dibilang gubuk derita. Bagunannya sudah tua, pake reot lagi. Lengkaplah sudah penderitaannku.
Siapa sangka kita berdua yang hidup dengan kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi dan juga perbedaan kepribadian yang sangat dominan itu akhirnya bisa saling mencintai sampai kini jenjag wisuda sudah didepan mata.
Entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas dulu aku bisa dengan mudah mendapatkannya, karena dia juga menyimpan rasa kepadaku. Dan dalam hubungan kita yang sangat lama itu, banyak sekali liku-liku yang menerpa. Jelas saja dalam hubungan kita selama tiga tahun, kita sempat putus nyambung sebanyak lima kali. Hebat kan?
Dan khusus yang kali ini, aku yakin tak aka ada kata nyambung lagi. Memang salahku karena aku tak berani berkomitmen dengannya. Aku memang mencintainya, tapi jujur dalam hatiku yag paling dalam aku tak yakin untuk mempersuntingnya. Kenapa? Karena jelas! Aku tak mungkin bisa mengikuti cara hidupnya yang mewah itu. Siapa aku? Aku hanyalah cowok miskin yang belum mempunyai pekerjaan. Akan ku kasih makan apa Shinta nanti? Belum lagi untuk membeli alat-alat make up nya yang harganya selangit itu. Nah, untuk perawatan dan lain sebagainya? Dapet duit darimana aku?
***
“Habis ini mau ngapain mas?” tanya ayah Shinta pada suatu siang. Biliau berpesan pada Shinta untuk menyuruhku dating ke kosan anaknya karena ingin berbicara serius kepadaku.
“Kemarin saya mengajukan beasiswa S2 Om, kalau beasiswanya tembus saya kuliah lagi. Tapi kalau ngga, rencana saya akan merantau ke luar Jawa.”
“Ya sudah Om dukung kamu, tapi kalau memang mau ke luar Jawa, kamu nikahin dulu anak Om. Nanti kan bisa merintis usaha berdua disana!”
“Maaf ya Om! Bukannya saya menolak, tapi Om kan tahu sendiri kalau saya belum punya pekerjaan. Jadi saya belum siap nikahin Shinta. Saya mau menata ekonomi dulu Om. Baru setelah itu saya aka melamar Shinta.”
“Soal rizki bisa dicari sama-sama kan? Yang penting kalian nikah dulu. Pacaran seusia kalian ini sudah tidak saatnya lagi untuk bermain-main. Kalian harus berkomitmen dan segera menikah. Om tidak menuntut kamu agar jadi orang kaya dulu baru bisa menikahi Shinta. Om hanya ingin Shinta bahagia dan hidup dengan orang yang dicintainya!”
Aku diam seribu bahasa, sedangkan Shinta yag duduk disamping ayahnya mulai melelehkan air mata. Ayah Shinta bisa dengan mudah berbicara seperti itu. Karena kemungkinan beliau hanya akan menjadi penonton dan ngga akan merasakan sulitnya mengarungi bahtera rumah tangga dengan seorang cewek yang berasal dari keluarga konglomerat. Aku bisa saja menikahi Shinta seperti yang diminta ayahnya. Tapi aku ini laki-laki yang punya harga diri. Aku ngga mungkin mengajak anak orang untuk bersusah-susah denganku.
Karena desakan-desakan ayah Shinta kepadaku untuk segera menentukan arah hubunganku dengannya, aku memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan ini, dan Shinta setuju karena ia merasa iba denganku, meskipun dengan berat hati. Karena kita berdua masih saling mencintai. Aku menyatakan ketidaksanggupanku itu pada ayah Shinta, syukurlah beliau mengerti dan tak menuduhku sebagai cowok yang tak berani mengambil tindakan.
“Ya sudahlah kalau itu keputusan kamu. Meskipun gagal, ada baiknya jika kita mengambil hikmahnya. Om harap setelah ini kamu dan Shinta tetap berteman.” pesan beliau.
***
Sekarang, ayahnya telah membawa cowok lain untuknya. Ingin rasanya aku mencegahnya dan mengatakan kalau aku telah siap untuk menikahi Shinta sekarang juga. Tapi aku teringat akan semuanya. Teringat akan bermacam perbedaan yang membentang luas diantara kita. Ahh...sudahlah, mungkin aku bukan jodohnya. Lebih baik sekarang aku fokus untuk skripsiku. Untung saja ini terjadi di saat aku hampir menyesaikan studiku. Kalau tidak? Aku tak akan bisa membayangkan rasa sakit yang kurasakan saat melihat Shinta bersama cowok lain. Semoga Shinta mendapatkan yang terbaik selainku. Begitu juga denganku.
Cinta ini mungkin akan terus mengalir dalam hati kita dan tak akan pernah bermuara dimanapun.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
@_LIE_BEE_@
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar