Beberapa waktu lalu saya mengunjungi kawasan ini untuk pertama kali, dan melihat langsung betapa tanah (yang didominasi pasir) telah kembali subur dan dihiasi tetumbuhan hijau, berkat kandungan mineral yang keluar dari perut gunung.
Saya mengikuti tur berkonsep napak tilas di atas mobil jip dan dalam waktu dua jam, saya dibawa ke beberapa titik perhentian dari Museum Gunung Api Merapi hingga Kali Adem — jarak terdekat ke puncak.
Perhentian pertama kami adalah Kali Gendol. Pasir terhampar luas di sana. Di bawahnya terdapat Kali Kuning yang menjadi “jalur” lahar dingin dari puncak merapi. Kini daerah itu menyisakan batu-batu dan pasir sebagai material berkualitas. Warga pun menjadikannya “lahan uang”.
Tim kami juga melewati Desa Petung yang masih menyisakan puing-puing rumah yang terkena awan panas sebelum erupsi Merapi.
Tak jauh dari situ, kami berhenti di Desa Jambu (yang kini kosong melompong). Hanya ada batu berukuran besar yang oleh warga setempat disebut “batu alien” karena bentuknya seperti kepala manusia luar angkasa. Ada bentuk hidung di tengahnya. Ada jorokan ke dalam pada kedua sisi atasnya sehingga terlihat seperti mata. Telinga pada bagian kirinya, dan bentuk mulut terbuka di bawah.
Sebelumnya, Desa Jambu merupakan permukiman warga. Kini sama sekali menjadi hamparan pasir dengan sedikit pepohonan mengelilingi. Selepas erupsi, batu besar tersebut berada di sudut desa tiba-tiba. Warga setempat mempercayainya sebagai salah satu batu yang ikut terlontar dari dalam gunung ketika peristiwa erupsi terjadi.
Dari posisi lereng bukit di Desa Jambu, saya bisa melihat Sungai Gendol yang menurut pemandu masih menyisakan material panas di beberapa titik.
Perjalanan dilanjutkan setelah itu. Selang 15 menit, kami akhirnya mencapai tempat terdekat dari puncak Merapi, Kali Adem.
Ketinggian 2900-an meter dari permukaan laut membuat saya merasa berada di tempat tertinggi di Yogyakarta. Suhunya sejuk walau matahari siang itu terik bersinar. Tak pernah bisa saya bayangkan suhu ratusan derajat yang menyelimuti daerah tersebut sebelum erupsi terjadi.
Perjalanan berkecepatan tinggi dengan manuver ekstrem yang dilakukan supir dari komunitas Jip Willy’s ini tak dapat disangkal mengundang rasa lelah. Tapi di sini saya tidak bisa langsung menenggak air untuk membuang dahaga.
“Jangan lupa kumur-kumur dan membuang airnya sebelum minum,” begitu saran sang sopir yang mengantarkan tim kami. Walau menggunakan masker (ini barang wajib!), tak ada salahnya menjalankan tindakan preventif tersebut agar pasir-pasir halus tidak ikut tertelan saat minum air.
Tak perlu biaya tinggi untuk mengikuti paket tur ini. Dengan kocek Rp250 ribu, saya dan tiga orang teman bisa merasakan serunya bernapak tilas dengan mobil-mobil jip tahun ’50-an hingga ‘70-an ini.
Sayangnya tidak ada sabuk pengaman yang memastikan saya aman duduk di mobil tersebut. Saya yang duduk di pojok belakang mobil, hanya berpegang kuat pada kursi bagian depan.
Berjarak 5 menit dari Kali Adem, kami berhenti di salah satu rumah yang jadi saksi tragedi awan panas Merapi. Rumah milik warga yang bernama Wati tersebut menjadi museum kecil yang diberi nama “Museum Sisa Hartaku”.
Benda-benda yang dipajang merupakan hampir seluruh harta benda milik keluarga Ibu Wati yang terkena dampak awan panas. Perlengkapan dapur yang meleleh, tulang sapi dan anjing peliharaan, sampai jam dinding yang masih “mencatat” puncaknya awan panas terjadi sehingga membuat mesin di dalamnya mati.
“Suhu 400 derajat Celsius yang menyelimuti rumah kami membuat semua barang-barang ini terbakar dan meleleh,” ujar Ibu Wati.
Mengunjungi Museum Sisa Hartaku seperti akhir yang menyimpulkan perjalanan napak tilas ini secara keseluruhan. Menyisakan rasa miris di hati yang sulit terkatakan.
Saya mengikuti tur berkonsep napak tilas di atas mobil jip dan dalam waktu dua jam, saya dibawa ke beberapa titik perhentian dari Museum Gunung Api Merapi hingga Kali Adem — jarak terdekat ke puncak.
Perhentian pertama kami adalah Kali Gendol. Pasir terhampar luas di sana. Di bawahnya terdapat Kali Kuning yang menjadi “jalur” lahar dingin dari puncak merapi. Kini daerah itu menyisakan batu-batu dan pasir sebagai material berkualitas. Warga pun menjadikannya “lahan uang”.
Tim kami juga melewati Desa Petung yang masih menyisakan puing-puing rumah yang terkena awan panas sebelum erupsi Merapi.
Tak jauh dari situ, kami berhenti di Desa Jambu (yang kini kosong melompong). Hanya ada batu berukuran besar yang oleh warga setempat disebut “batu alien” karena bentuknya seperti kepala manusia luar angkasa. Ada bentuk hidung di tengahnya. Ada jorokan ke dalam pada kedua sisi atasnya sehingga terlihat seperti mata. Telinga pada bagian kirinya, dan bentuk mulut terbuka di bawah.
Sebelumnya, Desa Jambu merupakan permukiman warga. Kini sama sekali menjadi hamparan pasir dengan sedikit pepohonan mengelilingi. Selepas erupsi, batu besar tersebut berada di sudut desa tiba-tiba. Warga setempat mempercayainya sebagai salah satu batu yang ikut terlontar dari dalam gunung ketika peristiwa erupsi terjadi.
Dari posisi lereng bukit di Desa Jambu, saya bisa melihat Sungai Gendol yang menurut pemandu masih menyisakan material panas di beberapa titik.
Perjalanan dilanjutkan setelah itu. Selang 15 menit, kami akhirnya mencapai tempat terdekat dari puncak Merapi, Kali Adem.
Ketinggian 2900-an meter dari permukaan laut membuat saya merasa berada di tempat tertinggi di Yogyakarta. Suhunya sejuk walau matahari siang itu terik bersinar. Tak pernah bisa saya bayangkan suhu ratusan derajat yang menyelimuti daerah tersebut sebelum erupsi terjadi.
Perjalanan berkecepatan tinggi dengan manuver ekstrem yang dilakukan supir dari komunitas Jip Willy’s ini tak dapat disangkal mengundang rasa lelah. Tapi di sini saya tidak bisa langsung menenggak air untuk membuang dahaga.
“Jangan lupa kumur-kumur dan membuang airnya sebelum minum,” begitu saran sang sopir yang mengantarkan tim kami. Walau menggunakan masker (ini barang wajib!), tak ada salahnya menjalankan tindakan preventif tersebut agar pasir-pasir halus tidak ikut tertelan saat minum air.
Tak perlu biaya tinggi untuk mengikuti paket tur ini. Dengan kocek Rp250 ribu, saya dan tiga orang teman bisa merasakan serunya bernapak tilas dengan mobil-mobil jip tahun ’50-an hingga ‘70-an ini.
Sayangnya tidak ada sabuk pengaman yang memastikan saya aman duduk di mobil tersebut. Saya yang duduk di pojok belakang mobil, hanya berpegang kuat pada kursi bagian depan.
Berjarak 5 menit dari Kali Adem, kami berhenti di salah satu rumah yang jadi saksi tragedi awan panas Merapi. Rumah milik warga yang bernama Wati tersebut menjadi museum kecil yang diberi nama “Museum Sisa Hartaku”.
Benda-benda yang dipajang merupakan hampir seluruh harta benda milik keluarga Ibu Wati yang terkena dampak awan panas. Perlengkapan dapur yang meleleh, tulang sapi dan anjing peliharaan, sampai jam dinding yang masih “mencatat” puncaknya awan panas terjadi sehingga membuat mesin di dalamnya mati.
“Suhu 400 derajat Celsius yang menyelimuti rumah kami membuat semua barang-barang ini terbakar dan meleleh,” ujar Ibu Wati.
Mengunjungi Museum Sisa Hartaku seperti akhir yang menyimpulkan perjalanan napak tilas ini secara keseluruhan. Menyisakan rasa miris di hati yang sulit terkatakan.
0 komentar:
Posting Komentar