“Ibu..... bapak... !!! Mila lulus
bu, pak!” Suara Mila memecah gang sempit menuju rumahnya. Kakinya saling
berlomba-lomba, hatinya berdegup kencang. Dan “BRUUKK!”
“Aduh nduk, kowe iki kenopo to? Bapak sampek jungkel.” Pak Somat terkaget-kaget dengan pelukan dadakan dari Mila.
“Mila lulus pak. Nilai Mila bagus.” Suara Mila masih tersengal-sengal bahagia lalu ia berganti menuju ibunya dan mendaratkan pelukan.
“Selamat ya nduk, ibu bangga sekali punya anak seperti Mila.” Bu Sutri menangis terharu.
Langit sore seperti saksi kebahagiaan keluarga kecil ini. Mila seorang gadis sederhana yang pandai. Cita-citanya ia gantungkan sitinggi langit. Satu yang ia tanamkan dalam hatinya, yang menjadi prinsipnya adalah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi orang lain.
Kini ia lulus dari SMA. Suatu jerih payah orang tuanya yang selama ini berkeluh keringat, berderai air mata di setiap doa. Gubuk kecil tempat mereka tinggal menaungi setiap jeritan hati masing-masing. Saling memupuk semangat antar hati yang mengalir satu darah antara Pak Somat, Bu Sutri, Mila, dan Nando adik Mila yang masih SMP kelas 2.
. . . . . . . . . .
“Mbak jadi berangkat ke Surabaya? Kalau mbak pergi siapa yang temenin Nando angon kambing? Kerja dulu, atau kuliah? Kalau kuliah siapa yang biayain? Kan mahal mbak.” Tanya Nando penasaran. Sepertinya ia sangat berbakat menjadi wartawan, karena memang itu cita-citanya.
“Adek mbak yang paling ganteng,” Tangan Mila mengacak-acak rambut Nando. “Mbak tau itu, mbak juga gak mau bebani ibu bapak lagi. Mbak punya rencana bulan depan mau ke Surabaya cari kerja dulu terus kuliah sambil kerja.” Lanjut Mila.
“Terus yang temenin Nando di Magelang siapa?”
“Kan ada bapak, ibu, pakde, bude.”
“Gak asik ah, berapa lama mbak?” Suara Nando memelas.
Mila menghentikan pekarjaannya. Di kamar yang sempit ini. Di sekat oleh papan usang dengan hiasan coret-ceretan saat Nando kecil. Perlahan tangan Mila meraih tubuh Nando. Mendekapnya penuh kasih. Mila ingat saat Nando masih kecil. Ia menggendongnya kemana Mila pergi setelah pulang sekolah karena Bu Sutri masih di pasar berjualan sayur, semantara Pak Somat harus ke sawah.
Tanpa mereka sadar masa lalu adalah hal yang sangat berharga. Waktu tak pernah berhenti. Namun kasih keluarga kecil ini akan tetap seperti dulu.
“Mbak janji akan bahagiain bapak, ibu, terutama kamu dek”.
“Ta...tapi mbak”.
“Tapi apa?”. Sebentar Mila melirik wajah Nando yang masih dalam pelukannya. “yeeeeeeeee kamu nangis ya?”. Goda Mila di susul tawanya. Sontak Nando lengsung melepaskan pelukannya dan mengusap-usap matanya sambil berlalu meninggalakan Mila. Mila terkulum dalam tawa. Matanya menerawang, nafasnya melamban entah apa yang ia pikirkan. Perlahan ia merebahkan badannya di kasur, dan gelaplah semua.
. . . . . . . . . .
Ayam jago masih terlalap dalam mimpinya. Sang fajar malu-malu menampakkan keagungan sinarnya. Namuan Mila sudah bersiap-siap mandi dan shalat subuh tak luap Mila menyiapakan sarapan untuk keluaraga. Bajunya sudah ia kemas semalam, tak ketinggalan ijazah kebaggaannya dan surat-surat berharga ia masukkan dalam tas.
Walau berat hati Bu Sutri mengizinkan Mila pergi ke Surabaya, namun itulah Mila. Ia selalu berhasil meluluhkan hati Bu Sutri. Pak Somat hanya tersenyum mengangguk saat Mila mengungkapakan keinginananya. Beliau tau Mila sudah dewasa. Mila berhak untuk meraih cita-citanya selama ini. Dan satu hal yang Pak Somat tau dari Mila. Mila ingin membahaiakan orang tuanya.
“Sudah di siapkan semuanya nduk? Jangan sampai ada yang ketinggalan. Jangan lupa shalatnya, telpon ibumu ini ya kalau sudah nyampe. Paklek irwan sudah nunggu kamu di sana. Nanti telepon saja kalau sudah nyampe stasiun Gubeng, katanya gitu waktu telepon ibu kemaren.” Kata Bu Sutri tanpa jeda atau ketukan.
“Enggeh bu. Mila pasti kabarin ibu. Pokoknya Nando suruh peganga Hpnya terus.” Balas Mila dengan penekanan pada kata enggeh. Mila tau ibunya sangat khawatir. Tapi inilah langkah pertama untuk kesuksesan Mila.
Di setasiun lambaian tangan para saudara mengiringi kepergian Mila. Dari kejauhan di sudut mata Mila melihat Bu Sutri menangis di pelukan bapaknya. Ini kali pertama Mila pergi jauh untuk waktu yang lama. Sepintas bayang-bayang bapaknya saat mencangkul di tengah sawah berpayungan terik matahari menampakan tubuh Pak Somat yang semakin kurus keriput termakan waktu.
Angin sepoy-sepoy menyelinap dari jendela-jendela kereta api. Khayalannya semakin meninggi. Perlahan ia rasakan kelopak matanya memberat, ia biarkan mimipi-mimpi menggelayuti di siang itu.
. . . . . . . . . .
“Anggep saja rumah sendiri nak. Paklek sama bulekmu ini cuma berdua di sini. Senang banget rasanya kamu tinggal di sini. Bulek jadi ada temennya kalo paklek karja.” Bulek Sri menjelaskan.
“Enggeh bulek. Mila pasti anggep rumah sendiri. Tapi kalo Mila ngelakuin salah, di marahin saja gak apa-apa lek.”
“Duh cah ayu, senengnya ibumu punya anak kayak kamu. Istirahat dulu sana. Itu kamarmu sudah bulek beresin.” Menunjukan kamar bercat hijau muda dengan satu tempat tidur sedang dan satu lemari pakaian. Memang tak terlalu lebar namun ini lebih baik dari kamarnya di kampung.
Hari-hari Mila terasa indah. Langkah awal Mila mencari kerja di sebuah perusahaan di jalan Ahmad Yani. Memang jabatan Mila tak terlalu tinggi di perusahaan itu. Namun itu sudah cukup bagus untuk pemula.
Bulan ke enam Mila di terima di Unuversitas Negeri Surabaya. Tak ia sia-siakan kemampuan otaknya untuk meraih bea siswa. Walau awalnya ia gagal, namun bukan Mila bila menyerah begitu saja. Karir dan prestasi ia dapatkan perlahan-lahan.
“Halo, nduk? Kapan kamu pulang lagi? Ibu kangen nduk. Sudah setahun ini kamu pulang Cuma sekali.” Bu sutri dari ujung telephon.
“Aduh maaf bu, Mila lagi banyak kerjaan. Mila lagi buat pembangunan panti asuhan. Ini lagi cari donatur. Ini cita-cita Mila bu. Tolong jangan di halangi.”
“Yang ngehalangi kamu itu siapa to? Ibu bapakmu iki kangen Mil.”
“Mila juga. Uang kiriman Mila udah di terima kan bu?.”
“Sudah nduk, selalu ibu terima. Cukup buat sekolah Nando, sisanya ibu tabung.”
“Ya sudah assalamualaikum.” Nada mila terburu-buru.
“Wa....” Belum selesai Bu Sutri menjawab salam.
Tut....tut...tut... Mila menghilang cepat di seberang telephon.
. . . . . . . . . .
“Dengan ini saya selaku pendiri panti asuhan Ulul Albab menyatakan terimakasih kepada para donatur. Semoga kami dapat memenfaatkan dan menjaga kepercayaan saudara-saudara.”
Bangunan bercatkan putih bersih di luarnya, berlantai dua. Dengan lima kamar luas yang masing-masing kamar untuk enambelas anak. Tiga kamar perempuan dan dua kamar laki-laki. Dan sepuluh kamar mandi di bagian belakang. Tak lupa juga ruang tamu, dapur dan ruang kerja untuk pengurus panti.
Hiruk tepuk tangan mengiringi kabahagiaan Mila. Seperti prinsipnya dulu. Kini Mila meraih keinginan terbesarnya. Jiwa sosial yang di turunkan oleh bapaknya. Mila mencintai anak asuhnya. Suatu kepuasan batin melihat anak-anak luguh itu tersenyum bahagia.
Dan kini Mila mulai jatuh cinta. Seorang donatur tampan yang datang rutin setiap sebulan tiga kali. Seorang pengusaha tekstil. Tak hanya tampan yang menarik Mila untuk jatuh ke pelukan Iqbal. Namun aura kepemimpinan Iqbal yang sering membuat Mila berangan-angan dalam tidurnya. Mila bahagia jika Iqbal bahagia di dekatnya. Bulan demi bulan mereka jalani dalam ikatan cinta suci. Bermula dari tiga kali sebulan, kini hampir setiap hari Iqbal datang ke panti atau rumah Bulek Sri untuk menemui Mila.
“Assalamualaikum mbak.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Gimana di sana mbak? Kapan pulang? Bapak mau bicara sama mbak.” Suara Nando serius.
“Mbak masih repot. Kalo mau bicara, bicara saja sekarang. Waktu mbak gak lama.”
Nando tau bila Mila sedang serius mengerjakan sesuatu, ia tak mau di ganggu oleh siapa saja. Dan Nando tau sekarang Mila sedang sibuk.
“Nando mau pesen saja. Kalo ada waktu, mbak cepetan pulang. Jangan mentingin orang lain saja mbak. Assalamualaikum.”
“Dek.......” Namun telepon sudah terputus. Mila menarik nafasnya. Membayangkan wajah nando yang lucu saat ia menangis di pelukan Mila. Ia tau, hatinya sedang tak nyaman namun Mila tak tau apa yang membuat ketidaknyamanan itu.
. . . . . . . . . .
Nasi tumpeng tertata rapih dan indah di tengah-tengah meja makan. Kue-kue khas syukuran sudah di persiapkan. Tamu-tamu lalu lalang memberi selamat pada Mila. Suara khas anak-anak menggema di seluruh ruangan panti menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Mila.
“Selamat ya mbak, mbak bener-bener layak dapet ini. Sudah banyak lembaga sosial yang mbak dirikan. Pantes kalo mbak dapet penghargaan wanita mandiri. Foto mbak cantik lho di majalah itu.” Sanjung Sisca, rekan Mila yang mengurus rumah mandiri yang di dirikan Mila untuk para tunawisma tiga bulan lalu.
“Ah kamu bisa saja. Aku senang kalo mereka senang.”
“Oh ya, orang tua mbak mana? Mbak sering cerita, tapi kok gak pernah ke Surabaya?”.
Sejenak Mila tersadar ada yang kurang dalam dirinya. Sebuah tamparan keras yang membuat matanya berkaca-kaca. Dadanya sesak menahan kegundahan yang tiba-tiba meluap. Hingga Mila di kejutkan oleh sebuah kotak merah muda kecil yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meneteslah setitik air mata di pipinya.
“Happy birthday honey.” Suara berat itu milik Iqbal.
“Ya sudah, duluan ya mbak, mas?” Sisca berpamitan Mila masih terdiam.
“Buka dong kadonya!” Iqbal menyodorkan kotak tadi.
Tiba-tiba handphone Mila berbunyi. Satu panggilan dari nomor Nando.
“Assalamualaikum, mbak. Bapak masuk rumah sakit.”
“Aaaa...aaa..pa?” Mila tak dapat berkata apa-apa. Badannya lemas, nafasnya seakan-akan berhanti. Matanya terasa basah sendiri.
“Ya Allah bapak!!!!!” Mila berusaha berteriak namun hanya suara memelas yang mampu ia keluarkan. Kakinya lemas, seakan tak mampu menopang tubuhnya.
“Bapak kenapa Mil?.” Tanya Iqbal sambil menopang badan Mila yang lemas.
“Ayo mas, kita ke Magelang sekarang, ba... bapak masuk rumah sakit.” Kata Mila terbata-bata menahan sesak.
. . . . . . . . . .
“Ini to calon mantu bapak, ganteng ya? Cocok sama Mila. Kamu, uhuuk...uhuk kerja apa le?”. Tanya pak Somat terbatuk-batuk.
“Tekstil pak. Alhamdulillah lancar saja.” Jawab Iqbal sopan.
“Bapak jangan banyak bicara, gak baik buat kesehatan. Bapak istirahat saja ya?” kata Mila sambil memegangi tangan Pak Somat.
“Iya bapak tidur saja nduk, tapi bapak mau pesen sesuatu.”
“Apa pak?” Mila terisak-isak kembali.
“Semua orang berhak bahagia. Dan semua orang wajib untuk saling membahagiakan. Bahagia bukan cuma materi nduk. Bapak ibumu ini sudah tua, bapak bahagia denger kamu bahagia. Tapi bapak nelangsa kalo bapak gak bisa lihat kebahagiaan itu.”
“Bapak..” Tangis Mila menjadi-jadi memenuhi ruang inap VIP ini.
“Mungkin di sana banyak orang yang berterimakasih sama kamu karena kamu sudah nolong mereka. Sadar nduk. Selama ini prinsip kamu kurang benar. Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang berguna untuk orang di sekitarnya. Jangan orang lain saja.” Lanjut Pak Somat.
Mila mengerti maksud Pak Somat. Selama ini Mila mulai lupa dengan kewajibannya. Banyak senyuman yang Mila ukir di wajah-wajah penghuni panti. tapi Mila lupa untuk mengukir senyum abadi di wajah orang tuanya.
Ia tak henti-henti menciumi tangan pak somat. Matanya terus berlinang air mata. Hingga sesengukan tangisnya. Ingin ia bertariak namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Dan Mila sadari itulah kata-kata terakhir Pak somat. Bapak Mila tercinta telah berhenti bernafas.
“Bapak!!!!!!” Nando berlari memeluk bapaknya yang terbaring. Sementara Bu Sutri menangis dalam pelukan iqbal di samping ranjang.
“Apa mbak nyesel? Kalo iya. Simpan baik-baik penyesalan mbak. Di sana memeng mbak berusaha bahagiain orang lain. Tapi apa mbak sadar? Di sini kita juga butuh mbak.!! Kalo Nando boleh pilih. Nando pengen dulu ngehalangi mbak buat pergi ke Surabaya!”
“Ma....maafin mbak dek.” Suara Mila parau. Ia hanya bisa tertunduk di samping jenazah bapaknya.
“Untuk apa? Terlambat!! Asal mbak tau. Bapak tiap hari mikirin mbak, selalu tanya kabar mbak. Bapak pernah bilang ke Nando kebahagian bapak adalah melihat senyum anak-anaknya sebelum beliau meninggal!” Suara Nando gemetaran. Kembang kempis dadanya menahan emosi. “Kalo boleh Nando pilih, lebih baik bapak jadi orang lain saja, biar mbak bisa bahagiain bapak. Bukan kah itu prinsip mbak selama ini ha?!” Lanjut Nando.
Matahari bagai terbelah di ubun-ubun Mila, matanya terbalalak. Bayang-bayang kembali datang di benak Mila, bayangan Pak Somat saat tersenyum melepasnya pergi ke Surabaya. Itulah kenapa Pak Somat selalu berusaha tersenyum walau di dasar hatinya menagis. Agar orang di sekitarnya ikut tersenyum.
Apakah penyesalan Mila akan abadi? Apakah ia tak akan pernah membahagiakan orang tuanya? Inikah kado atau hukuman untuk Mila yang terlalu terobsesi akan kebahagiaan orang lain?
Namun satu jawabannya kebahagiaan sejati adalah tersenyum bersama orang terkasih.
“Aduh nduk, kowe iki kenopo to? Bapak sampek jungkel.” Pak Somat terkaget-kaget dengan pelukan dadakan dari Mila.
“Mila lulus pak. Nilai Mila bagus.” Suara Mila masih tersengal-sengal bahagia lalu ia berganti menuju ibunya dan mendaratkan pelukan.
“Selamat ya nduk, ibu bangga sekali punya anak seperti Mila.” Bu Sutri menangis terharu.
Langit sore seperti saksi kebahagiaan keluarga kecil ini. Mila seorang gadis sederhana yang pandai. Cita-citanya ia gantungkan sitinggi langit. Satu yang ia tanamkan dalam hatinya, yang menjadi prinsipnya adalah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi orang lain.
Kini ia lulus dari SMA. Suatu jerih payah orang tuanya yang selama ini berkeluh keringat, berderai air mata di setiap doa. Gubuk kecil tempat mereka tinggal menaungi setiap jeritan hati masing-masing. Saling memupuk semangat antar hati yang mengalir satu darah antara Pak Somat, Bu Sutri, Mila, dan Nando adik Mila yang masih SMP kelas 2.
. . . . . . . . . .
“Mbak jadi berangkat ke Surabaya? Kalau mbak pergi siapa yang temenin Nando angon kambing? Kerja dulu, atau kuliah? Kalau kuliah siapa yang biayain? Kan mahal mbak.” Tanya Nando penasaran. Sepertinya ia sangat berbakat menjadi wartawan, karena memang itu cita-citanya.
“Adek mbak yang paling ganteng,” Tangan Mila mengacak-acak rambut Nando. “Mbak tau itu, mbak juga gak mau bebani ibu bapak lagi. Mbak punya rencana bulan depan mau ke Surabaya cari kerja dulu terus kuliah sambil kerja.” Lanjut Mila.
“Terus yang temenin Nando di Magelang siapa?”
“Kan ada bapak, ibu, pakde, bude.”
“Gak asik ah, berapa lama mbak?” Suara Nando memelas.
Mila menghentikan pekarjaannya. Di kamar yang sempit ini. Di sekat oleh papan usang dengan hiasan coret-ceretan saat Nando kecil. Perlahan tangan Mila meraih tubuh Nando. Mendekapnya penuh kasih. Mila ingat saat Nando masih kecil. Ia menggendongnya kemana Mila pergi setelah pulang sekolah karena Bu Sutri masih di pasar berjualan sayur, semantara Pak Somat harus ke sawah.
Tanpa mereka sadar masa lalu adalah hal yang sangat berharga. Waktu tak pernah berhenti. Namun kasih keluarga kecil ini akan tetap seperti dulu.
“Mbak janji akan bahagiain bapak, ibu, terutama kamu dek”.
“Ta...tapi mbak”.
“Tapi apa?”. Sebentar Mila melirik wajah Nando yang masih dalam pelukannya. “yeeeeeeeee kamu nangis ya?”. Goda Mila di susul tawanya. Sontak Nando lengsung melepaskan pelukannya dan mengusap-usap matanya sambil berlalu meninggalakan Mila. Mila terkulum dalam tawa. Matanya menerawang, nafasnya melamban entah apa yang ia pikirkan. Perlahan ia merebahkan badannya di kasur, dan gelaplah semua.
. . . . . . . . . .
Ayam jago masih terlalap dalam mimpinya. Sang fajar malu-malu menampakkan keagungan sinarnya. Namuan Mila sudah bersiap-siap mandi dan shalat subuh tak luap Mila menyiapakan sarapan untuk keluaraga. Bajunya sudah ia kemas semalam, tak ketinggalan ijazah kebaggaannya dan surat-surat berharga ia masukkan dalam tas.
Walau berat hati Bu Sutri mengizinkan Mila pergi ke Surabaya, namun itulah Mila. Ia selalu berhasil meluluhkan hati Bu Sutri. Pak Somat hanya tersenyum mengangguk saat Mila mengungkapakan keinginananya. Beliau tau Mila sudah dewasa. Mila berhak untuk meraih cita-citanya selama ini. Dan satu hal yang Pak Somat tau dari Mila. Mila ingin membahaiakan orang tuanya.
“Sudah di siapkan semuanya nduk? Jangan sampai ada yang ketinggalan. Jangan lupa shalatnya, telpon ibumu ini ya kalau sudah nyampe. Paklek irwan sudah nunggu kamu di sana. Nanti telepon saja kalau sudah nyampe stasiun Gubeng, katanya gitu waktu telepon ibu kemaren.” Kata Bu Sutri tanpa jeda atau ketukan.
“Enggeh bu. Mila pasti kabarin ibu. Pokoknya Nando suruh peganga Hpnya terus.” Balas Mila dengan penekanan pada kata enggeh. Mila tau ibunya sangat khawatir. Tapi inilah langkah pertama untuk kesuksesan Mila.
Di setasiun lambaian tangan para saudara mengiringi kepergian Mila. Dari kejauhan di sudut mata Mila melihat Bu Sutri menangis di pelukan bapaknya. Ini kali pertama Mila pergi jauh untuk waktu yang lama. Sepintas bayang-bayang bapaknya saat mencangkul di tengah sawah berpayungan terik matahari menampakan tubuh Pak Somat yang semakin kurus keriput termakan waktu.
Angin sepoy-sepoy menyelinap dari jendela-jendela kereta api. Khayalannya semakin meninggi. Perlahan ia rasakan kelopak matanya memberat, ia biarkan mimipi-mimpi menggelayuti di siang itu.
. . . . . . . . . .
“Anggep saja rumah sendiri nak. Paklek sama bulekmu ini cuma berdua di sini. Senang banget rasanya kamu tinggal di sini. Bulek jadi ada temennya kalo paklek karja.” Bulek Sri menjelaskan.
“Enggeh bulek. Mila pasti anggep rumah sendiri. Tapi kalo Mila ngelakuin salah, di marahin saja gak apa-apa lek.”
“Duh cah ayu, senengnya ibumu punya anak kayak kamu. Istirahat dulu sana. Itu kamarmu sudah bulek beresin.” Menunjukan kamar bercat hijau muda dengan satu tempat tidur sedang dan satu lemari pakaian. Memang tak terlalu lebar namun ini lebih baik dari kamarnya di kampung.
Hari-hari Mila terasa indah. Langkah awal Mila mencari kerja di sebuah perusahaan di jalan Ahmad Yani. Memang jabatan Mila tak terlalu tinggi di perusahaan itu. Namun itu sudah cukup bagus untuk pemula.
Bulan ke enam Mila di terima di Unuversitas Negeri Surabaya. Tak ia sia-siakan kemampuan otaknya untuk meraih bea siswa. Walau awalnya ia gagal, namun bukan Mila bila menyerah begitu saja. Karir dan prestasi ia dapatkan perlahan-lahan.
“Halo, nduk? Kapan kamu pulang lagi? Ibu kangen nduk. Sudah setahun ini kamu pulang Cuma sekali.” Bu sutri dari ujung telephon.
“Aduh maaf bu, Mila lagi banyak kerjaan. Mila lagi buat pembangunan panti asuhan. Ini lagi cari donatur. Ini cita-cita Mila bu. Tolong jangan di halangi.”
“Yang ngehalangi kamu itu siapa to? Ibu bapakmu iki kangen Mil.”
“Mila juga. Uang kiriman Mila udah di terima kan bu?.”
“Sudah nduk, selalu ibu terima. Cukup buat sekolah Nando, sisanya ibu tabung.”
“Ya sudah assalamualaikum.” Nada mila terburu-buru.
“Wa....” Belum selesai Bu Sutri menjawab salam.
Tut....tut...tut... Mila menghilang cepat di seberang telephon.
. . . . . . . . . .
“Dengan ini saya selaku pendiri panti asuhan Ulul Albab menyatakan terimakasih kepada para donatur. Semoga kami dapat memenfaatkan dan menjaga kepercayaan saudara-saudara.”
Bangunan bercatkan putih bersih di luarnya, berlantai dua. Dengan lima kamar luas yang masing-masing kamar untuk enambelas anak. Tiga kamar perempuan dan dua kamar laki-laki. Dan sepuluh kamar mandi di bagian belakang. Tak lupa juga ruang tamu, dapur dan ruang kerja untuk pengurus panti.
Hiruk tepuk tangan mengiringi kabahagiaan Mila. Seperti prinsipnya dulu. Kini Mila meraih keinginan terbesarnya. Jiwa sosial yang di turunkan oleh bapaknya. Mila mencintai anak asuhnya. Suatu kepuasan batin melihat anak-anak luguh itu tersenyum bahagia.
Dan kini Mila mulai jatuh cinta. Seorang donatur tampan yang datang rutin setiap sebulan tiga kali. Seorang pengusaha tekstil. Tak hanya tampan yang menarik Mila untuk jatuh ke pelukan Iqbal. Namun aura kepemimpinan Iqbal yang sering membuat Mila berangan-angan dalam tidurnya. Mila bahagia jika Iqbal bahagia di dekatnya. Bulan demi bulan mereka jalani dalam ikatan cinta suci. Bermula dari tiga kali sebulan, kini hampir setiap hari Iqbal datang ke panti atau rumah Bulek Sri untuk menemui Mila.
“Assalamualaikum mbak.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Gimana di sana mbak? Kapan pulang? Bapak mau bicara sama mbak.” Suara Nando serius.
“Mbak masih repot. Kalo mau bicara, bicara saja sekarang. Waktu mbak gak lama.”
Nando tau bila Mila sedang serius mengerjakan sesuatu, ia tak mau di ganggu oleh siapa saja. Dan Nando tau sekarang Mila sedang sibuk.
“Nando mau pesen saja. Kalo ada waktu, mbak cepetan pulang. Jangan mentingin orang lain saja mbak. Assalamualaikum.”
“Dek.......” Namun telepon sudah terputus. Mila menarik nafasnya. Membayangkan wajah nando yang lucu saat ia menangis di pelukan Mila. Ia tau, hatinya sedang tak nyaman namun Mila tak tau apa yang membuat ketidaknyamanan itu.
. . . . . . . . . .
Nasi tumpeng tertata rapih dan indah di tengah-tengah meja makan. Kue-kue khas syukuran sudah di persiapkan. Tamu-tamu lalu lalang memberi selamat pada Mila. Suara khas anak-anak menggema di seluruh ruangan panti menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Mila.
“Selamat ya mbak, mbak bener-bener layak dapet ini. Sudah banyak lembaga sosial yang mbak dirikan. Pantes kalo mbak dapet penghargaan wanita mandiri. Foto mbak cantik lho di majalah itu.” Sanjung Sisca, rekan Mila yang mengurus rumah mandiri yang di dirikan Mila untuk para tunawisma tiga bulan lalu.
“Ah kamu bisa saja. Aku senang kalo mereka senang.”
“Oh ya, orang tua mbak mana? Mbak sering cerita, tapi kok gak pernah ke Surabaya?”.
Sejenak Mila tersadar ada yang kurang dalam dirinya. Sebuah tamparan keras yang membuat matanya berkaca-kaca. Dadanya sesak menahan kegundahan yang tiba-tiba meluap. Hingga Mila di kejutkan oleh sebuah kotak merah muda kecil yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meneteslah setitik air mata di pipinya.
“Happy birthday honey.” Suara berat itu milik Iqbal.
“Ya sudah, duluan ya mbak, mas?” Sisca berpamitan Mila masih terdiam.
“Buka dong kadonya!” Iqbal menyodorkan kotak tadi.
Tiba-tiba handphone Mila berbunyi. Satu panggilan dari nomor Nando.
“Assalamualaikum, mbak. Bapak masuk rumah sakit.”
“Aaaa...aaa..pa?” Mila tak dapat berkata apa-apa. Badannya lemas, nafasnya seakan-akan berhanti. Matanya terasa basah sendiri.
“Ya Allah bapak!!!!!” Mila berusaha berteriak namun hanya suara memelas yang mampu ia keluarkan. Kakinya lemas, seakan tak mampu menopang tubuhnya.
“Bapak kenapa Mil?.” Tanya Iqbal sambil menopang badan Mila yang lemas.
“Ayo mas, kita ke Magelang sekarang, ba... bapak masuk rumah sakit.” Kata Mila terbata-bata menahan sesak.
. . . . . . . . . .
“Ini to calon mantu bapak, ganteng ya? Cocok sama Mila. Kamu, uhuuk...uhuk kerja apa le?”. Tanya pak Somat terbatuk-batuk.
“Tekstil pak. Alhamdulillah lancar saja.” Jawab Iqbal sopan.
“Bapak jangan banyak bicara, gak baik buat kesehatan. Bapak istirahat saja ya?” kata Mila sambil memegangi tangan Pak Somat.
“Iya bapak tidur saja nduk, tapi bapak mau pesen sesuatu.”
“Apa pak?” Mila terisak-isak kembali.
“Semua orang berhak bahagia. Dan semua orang wajib untuk saling membahagiakan. Bahagia bukan cuma materi nduk. Bapak ibumu ini sudah tua, bapak bahagia denger kamu bahagia. Tapi bapak nelangsa kalo bapak gak bisa lihat kebahagiaan itu.”
“Bapak..” Tangis Mila menjadi-jadi memenuhi ruang inap VIP ini.
“Mungkin di sana banyak orang yang berterimakasih sama kamu karena kamu sudah nolong mereka. Sadar nduk. Selama ini prinsip kamu kurang benar. Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang berguna untuk orang di sekitarnya. Jangan orang lain saja.” Lanjut Pak Somat.
Mila mengerti maksud Pak Somat. Selama ini Mila mulai lupa dengan kewajibannya. Banyak senyuman yang Mila ukir di wajah-wajah penghuni panti. tapi Mila lupa untuk mengukir senyum abadi di wajah orang tuanya.
Ia tak henti-henti menciumi tangan pak somat. Matanya terus berlinang air mata. Hingga sesengukan tangisnya. Ingin ia bertariak namun kata-katanya terhenti di tenggorokan. Dan Mila sadari itulah kata-kata terakhir Pak somat. Bapak Mila tercinta telah berhenti bernafas.
“Bapak!!!!!!” Nando berlari memeluk bapaknya yang terbaring. Sementara Bu Sutri menangis dalam pelukan iqbal di samping ranjang.
“Apa mbak nyesel? Kalo iya. Simpan baik-baik penyesalan mbak. Di sana memeng mbak berusaha bahagiain orang lain. Tapi apa mbak sadar? Di sini kita juga butuh mbak.!! Kalo Nando boleh pilih. Nando pengen dulu ngehalangi mbak buat pergi ke Surabaya!”
“Ma....maafin mbak dek.” Suara Mila parau. Ia hanya bisa tertunduk di samping jenazah bapaknya.
“Untuk apa? Terlambat!! Asal mbak tau. Bapak tiap hari mikirin mbak, selalu tanya kabar mbak. Bapak pernah bilang ke Nando kebahagian bapak adalah melihat senyum anak-anaknya sebelum beliau meninggal!” Suara Nando gemetaran. Kembang kempis dadanya menahan emosi. “Kalo boleh Nando pilih, lebih baik bapak jadi orang lain saja, biar mbak bisa bahagiain bapak. Bukan kah itu prinsip mbak selama ini ha?!” Lanjut Nando.
Matahari bagai terbelah di ubun-ubun Mila, matanya terbalalak. Bayang-bayang kembali datang di benak Mila, bayangan Pak Somat saat tersenyum melepasnya pergi ke Surabaya. Itulah kenapa Pak Somat selalu berusaha tersenyum walau di dasar hatinya menagis. Agar orang di sekitarnya ikut tersenyum.
Apakah penyesalan Mila akan abadi? Apakah ia tak akan pernah membahagiakan orang tuanya? Inikah kado atau hukuman untuk Mila yang terlalu terobsesi akan kebahagiaan orang lain?
Namun satu jawabannya kebahagiaan sejati adalah tersenyum bersama orang terkasih.
~ TAMAT ~
0 komentar:
Posting Komentar